Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Mengenai Pembukaan Sekolah di Masa Pandemi

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Mengenai Pembukaan Sekolah di Masa Pandemi

 

Terkait pembukaan sekolah di Juni 2021, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengeluarkan beberapa rekomendasi yang ditulis dalam rilis resmi IDAI pada Selasa (27/4).

 

IDAI menyebut, salah satu persyaratan pembukaan sekolah adalah ketika positivity rate corona kurang dari lima persen serta turunnya kasus kematian COVID-19.

 

Dalam dokumen itu disebutkan, jika sekolah tatap muka tetap dimulai, pihak sekolah harus menyiapkan blended learning, anak dan orang tua diberi kebebasan memilih metode pembelajaran luring atau daring.

 

Apa pun pilihan metode pembelajaran anak, maka ia harus mendapatkan hak dan perlakuan yang sama.

 

 

Panduan IDAI soal Sekolah Tatap Muka Apabila Pandemi Terkendali.

 

Semua guru dan pengurus sekolah yang berhubungan dengan anak dan orang tua/pengasuh harus sudah divaksin.

 

Buat kelompok belajar kecil. Kelompok ini yang berinteraksi secara terbatas di sekolah, dengan tujuan jika ada kasus konfirmasi contact tracing dapat dilakukan secara efisien.

 

Jam masuk dan pulang bertahap untuk menghindari penumpukan siswa di jam masuk dan pulang sekolah. Kelompok belajar kecil dapat datang dan pulang di waktu yang sama.

 

Penjagaan gerbang dan pengawasan yang disiplin guna menghindari kerumunan di gerbang sekolah.

 

Jika menggunakan kendaraan antar jemput, gunakan masker dan jaga jarak serta menjaga ventilasi dengan membuka jendela mobil.

 

Buka semua jendela kelas. Gunakan area outdoor jika memungkinkan. Dalam ruang dengan sirkulasi tertutup direkomendasikan penggunaan High Efficiency Particulate Air (HEPA) filter.

 

Membuat pemetaan risiko adakah siswa dengan komorbid, orang tua siswa dengan komorbid, atau tinggal bersama lansia maupun guru dengan komorbid serta kondisi kesehatan atau medis anak. Anak dengan komorbitas atau penyakit kronik sebaiknya tetap belajar daring.

 

Idealnya sebelum membuka sekolah, semua anak, guru dan petugas sekolah melakukan pemeriksaan swab, dan secara ulangan melakukan pemeriksaan swab ulangan untuk quality control protokol kesehatan di sekolah.

 

Jika ada anak atau guru atau petugas sekolah yang memenuhi kriteria suspek, harus bersedia melakukan pemeriksaan swab.

 

Sekolah dan tim UKS sudah menyiapkan alur mitigasi jika ada warga sekolah yang sakit. Bila ada anak yang bergejala mengarah pada COVID-19, maka orang tua harus mau anaknya diperiksa untuk memastikan anak menderita COVID-19 atau tidak.

 

Bila ada murid yang terbukti menderita COVID-19, maka sekolah harus menghentikan pembelajaran tatap muka dan melakukan tracing. Sekolah harus berkoordinasi dengan dinas kesehatan.

 

Pelatihan menggunakan masker yang benar.

 

Melatih anak untuk tidak memegang mata, hidung dan mulut tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Tidak bertukar alat minum atau perlengkapan pribadi lainnya. Mengajarkan anak etika batuk dan bersin. Mengenali tanda COVID-19 secara mandiri dan tidak melakukan stigmatisasi terhadap teman yang terkena COVID-19.

 

Dukungan mental untuk orang tua dan murid.

Download : Rekomendasi IDAI Pembukaan Sekolah

MUI Jatim Imbau Salat Id di Rumah

MUI Jatim Imbau Salat Id di Rumah

Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur, mengimbau umat Islam tak menggelar Salat Idulfitri 1442 Hijriah di masjid saat lebaran nanti.

Sebagai gantinya, MUI Jatim menyarankan Salat Idulfitri dilaksanakan bersama keluarga dan berjemaah di rumah masing-masing.

 

“Mengimbau kepada seluruh umat Islam di Jatim agar melaksanakan Salat Idulfitri di rumah bersama keluarga,” kata Ketua MUI Jatim KH Hasan Mutawakkil Alallah, Selasa (27/4).

 

Kiai Mutawakkil mengatakan imbauan Salat Idulfitri di rumah itu agar umat Islam di Jatim tak menimbulkan kerumunan kelompok. Menurut dia salat jemaah di masjid saat lebaran bisa menimbulkan potensi penularan Covid-19.

 

“Ya, agar tidak menimbulkan kerumunan kelompok yang menimbulkan kerentanan terhadap penularan virus Covid-19,” ucapnya.

 

Imbauan itu juga tertuang dalam tausiyah MUI Jatim nomor 05/MUI/JTM/IV/2021 dalam rangka menyambut Idul Fitri 1442 H/2021 M di tengah masa pandemi Covid-19.

 

Ia mengatakan, tausyiah dan imbauan itu dibuat lantaran pihaknya khawatir akan potensi kembali meningkatnya kasus positif Covid-19, seperti yang terjadi di India.

 

“Tausiyah itu, dibuat berdasarkan adanya potensi lonjakan kasus positif Covid-19, seperti terjadi di beberapa belahan dunia, salah satunya India,” katanya.

 

Dalam tausiyah itu, MUI juga mengajak segenap umat Islam di Jatim untuk senantiasa menyempurnakan ibadah Ramadan dengan penuh khidmat namun dalam kewaspadaan tinggi terhadap potensi lonjakan kasus positif Covid-19.

 

“Hal itu, juga diiringi dengan upaya memperkuat doa untuk keselamatan bersama dari ancaman, khususnya, pandemi Covid-19 serta agar pandemi dimaksud segera usai,” pungkas dia.

Sumber : CNN

 

Vaksin Covid-19 Tak Bikin Kebal?

Vaksin Covid-19 Tak Bikin Kebal?

 

 

KOTA, SIDOARJONEWS.id — Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi baru-baru ini menyampaikan pernyataan bahwa vaksin Covid-19 tidak membuat manusia kebal. Pernyataan tersebut memang ada buktinya. Di India, lonjakan kasus Covid-19 semakin menjadi-jadi meski jadi salah satu negara yang paling cepat melaksanakan vaksinasi.

 

Terkait hal ini, dr. Iqbal Faizin, Ketua PC Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Sidoarjo angkat bicara. Menurutnya, tidak ada vaksin di dunia ini yang bisa membuat orang kebal seratus persen.

 

Vaksin diciptakan untuk membangun sistem antibodi di dalam tubuh. Jadi ketika virus masuk ke dalam tubuh, imunitas langsung bisa merespons.

 

“Paling tidak, vaksin membuat kita tidak terlalu parah saat tertular Covid-19. Jadi memang masih ada potensi tertular. Untuk itu, meski sudah divaksin, protokol kesehatan harus tetap dijalankan,” ujarnya pada Sidoarjonews.id, Senin (26/4).

 

Dia mengatakan, seringkali vaksin membuat seseorang merasa jemawa sehingga mulai mengabaikan protokol kesehatan. Seolah-olah ia tak akan terjangkiti. Padahal itu semua keliru.

 

“Sudah banyak kasus orang yang telah divaksin, kemudian terjangkiti Covid-19 karena mengabaikan prokes,” ujar dokter yang hobi sepak bola ini.

Selain itu, dr. Iqbal Faizin juga mengatakan potensi tertular Covid-19 itu akan bisa diminimilisir ketika herd immunity di suatu populasi telah terbentuk.

 

Namun untuk membentuk herd immunity tersebut mensyaratkan capaian vaksinasi 60% dari populasi. Sedangkan di Indonesia, hingga hari ini total vaksinasi baru mencapai 12,7 juta. Artinya belum mencapai 10% dari total penduduk.

 

Untuk itu, jangan sampai apa yang terjadi di India dialami oleh Indonesia. Kuncinya, tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan meski telah divaksin.

Sumber : sidoarjonews.id

Hati-hati Gejala Malaria Mirip COVID-19

Hati-hati Gejala Malaria Mirip COVID-19

Malaria yang masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama, khususnya di wilayah timur Indonesia, belum lagi usai. Tahun 2020 lalu, Indonesia dan seluruh dunia dihadapkan dengan pandemi COVID-19 yang menular jauh lebih cepat dari malaria. Penyebaran infeksi virus COVID-19 sudah meluas hingga ke wilayah-wilayah endemis malaria, seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Sayangnya, gejala-gejala COVID-19 yang mirip dengan malaria membuat keterlambatan dalam menegakkan diagnosis malaria dan memberikan penanganan medis di daerah-daerah endemis malaria.

Merebaknya COVID-19 mempengaruhi pelaksanaan kegiatan upaya pengendalian dan pencegahan penyakit, salah satunya adalah malaria. Malaria dapat memperburuk kondisi seseorang yang juga terinfeksi COVID-19, begitu pula sebaliknya. Sayangnya, gejala kedua penyakit yang mirip menyulitkan petugas kesehatan dalam penegakkan diagnosa. Pasien dengan gejala umum seperti demam, berpotensi tidak terdeteksi infeksi malaria apabila hasil tesnya positif COVID-19. Orang-orang dengan gejala umum malaria juga dapat tertunda menerima pertolongan kesehatan karena ketakutan akan terinfeksi COVID-19, yang mana seringkali memunculkan stigma tertentu dalam masyarakat dan berpotensi untuk dikucilkan dari kehidupan sosial.

Pada masa pandemi COVID-19, pemeriksaan malaria dilakukan dengan tes cepat atau Rapid Diagnostic Test (RDT). Prosedur diagnostik dari Kementerian Kesehatan tersebut diawali dengan mencari tahu apakah pasien memiliki riwayat malaria maupun COVID-19, seperti kontak dengan pasien terkonfirmasi positif COVID-19, atau pernah melakukan perjalanan maupun tinggal di daerah endemis malaria. Pasien juga harus melalui pemeriksaan laboratorium untuk COVID-19 dan RDT untuk malaria sekaligus.

Apabila hasil RDT positif, maka pasien akan segera diberikan pengobatan, yaitu Obat Anti Malaria (OAM). Pembuatan sediaan darah juga tetap dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil RDT dan mengevaluasi hasil pengobatan malaria.

Dalam hal prosedur pelayanan pasien malaria, petugas kesehatan di dalam melakukan pelayanan malaria wajib mengikuti protokol pencegahan COVID-19, seperti menjaga jarak fisik, memakai masker dan APD (Alat Pelindung Diri), serta mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun secara reguler.

Maka dari itu, pemerintah berupaya untuk memberi pelayanan sesuai dengan protokol kesehatan malaria dan tetap mengimbau masyarakat di wilayah endemis malaria untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan.

 

Bagaimana cara membedakan malaria dengan COVID-19?


Malaria biasanya ditandai dengan gejala-gejala seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, anemia, keringat dingin, diare, dehidrasi, mual dan muntah, dan dapat terjadi penurunan tekanan darah. Sementara, COVID-19 juga memiliki gejala serupa, seperti demam, sakit kepala, nyeri, kelelahan, dan batuk-batuk yang terasa kering.

Meski memiliki gejala-gejala yang cukup berbeda jika dilihat secara keseluruhan, namun adanya kemiripan gejala umum seperti demam dan nyeri membuat keduanya sulit dibedakan saat awal, sehingga dapat memperlambat penegakan dalam diagnosa.

Sebuah penelitian di Cina yang dilakukan oleh Benyun Shi and Jinxin Zheng, menunjukkan bahwa identifikasi COVID-19 yang dilakukan terlebih dahulu dapat mengurangi dampak COVID-19 terhadap potensi transmisi malaria.

Menurut co-founder Goodbye Malaria, Sherwin Charles, menangani penyakit yang lebih mendesak terlebih dahulu merupakan tindakan yang efektif. Dalam hal ini, Charles berpendapat bahwa malaria bisa menjadi penyakit yang mendesak sehingga perlu penanganan segera. Namun, penanganan malaria yang lebih diprioritaskan bukan berarti mengabaikan protokol kesehatan COVID-19. Hanya saja, penyembuhan diprioritaskan untuk penyakit yang lebih mendesak.

Jadi, masyarakat yang tinggal di wilayah endemis malaria disarankan untuk tidak mengabaikan gejala-gejala malaria maupun COVID-19. Meskipun COVID-19 merebak lebih luas dalam waktu yang lebih singkat, tetapi pengabaian akan gejala-gejala malaria juga bisa menimbulkan akibat yang fatal. Sebab, obat dan prosedur penanganan kedua penyakit mematikan ini berbeda.

sumber: malaria.id

Tantangan Menuju Eliminasi Malaria 2030

Tantangan Menuju Eliminasi Malaria 2030

Kementerian Kesehatan RI memiliki target eliminasi malaria sepenuhnya pada tahun 2030. Pencapaian eliminasi malaria dilakukan secara bertahap. Tahapan-tahapan untuk mencapai target tersebut yaitu: kasus terakhir penularan setempat pada tahun 2025,  semua provinsi mencapai eliminasi malaria pada tahun 2028, dan Indonesia mencapai eliminasi pada 2030.

Pencapaian eliminasi malaria tahun 2030 dilakukan secara bertahap. Tahapan  eliminasi malaria yaitu tingkat kabupaten/kota, provinsi, regional dan nasional. Secara historis, pemerintah masih dalam jalur yang sesuai dalam mencapai target tersebut. Capaian eliminasi tingkat kabupaten/kota pada tahun 2016 sebanyak 247 atau melebihi target capaian dari tahun tersebut, yaitu 245. Sementara pada 2017, pemerintah memperluas capaian eliminasi malaria menjadi 266 kabupaten/kota dari target 265 kabupaten/kota. Target eliminasi ini meningkat tiap tahunnya dan hingga masa sebelum pandemi, target tersebut masih tercapai, yakni 285 kabupaten/kota di tahun 2018 dan 300 kabupaten/kota di tahun 2019.

Eliminasi malaria di tingkat kabupaten/kota adalah upaya untuk menghentikan penularan malaria dalam wilayah geografi tertentu. Pada tahun 2020, pemerintah menargetkan 325 kabupaten/kota dengan sertifikasi bebas malaria dan tidak ada lagi daerah endemis tinggi malaria di Indonesia. Tantangan baru muncul seiring dengan pandemi COVID-19. Masyarakat di daerah endemis tinggi harus jauh lebih hati-hati, sebab tinggi kemungkinan pasien terjangkit malaria dan COVID-19 secara bersamaan.

Kegiatan program malaria seperti pelatihan sumber daya manusia (SDM) sebagai kader malaria di daerah endemisitas tinggi, misalnya Provinsi Papua, tetap berlangsung dengan mengikuti protokol kesehatan pencegahan COVID-19. Kader malaria dilatih untuk melakukan deteksi dan pengobatan malaria.

Kader malaria yang pada masa sebelum pandemi biasanya mengunjungi rumah-rumah penduduk secara aktif, kini terpaksa menjadi lebih pasif dan menunggu adanya pasien yang datang. Tindakan ini mengikuti kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang menganjurkan pembatasan mobilitas fisik seluruh elemen masyarakat. Namun, kader malaria sebisa mungkin tetap aktif melakukan kegiatan program malaria seperti pembagian kelambu pada masyarakat setempat, dan melakukan promosi kesehatan.

Sementara itu kegiatan sosialisasi program malaria tetap dilaksanakan dengan menggunakan metode dalam jaringan (daring). Salah satunya dalam rangka Peringatan Hari Malaria Sedunia (HMS), Kementerian Kesehatan mengadakan webinar untuk mengimbau masyarakat dalam melakukan kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit malaria di tengah pandemi COVID-19. HMS yang diperingati setiap tanggal 25 April tersebut mengusung tema Bebas Malaria, Prestasi Bangsa Bersatu Lawan Malaria dan COVID-19 untuk Indonesia Sehat.

Selain pandemi COVID-19, masih ada tantangan-tantangan lain dalam upaya mencapai eliminasi malaria di Indonesia pada tahun 2030. Daerah-daerah endemis tinggi sebagian besar berada di bagian timur Indonesia, yang membutuhkan pendekatan khusus secara sosial dan budaya dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan malaria dengan penyesuaian terhadap kondisi geografis yang mayoritas sulit untuk dicapai. Sementara itu, adanya komunitas adat, penambang dan pembabat hutan ilegal, serta mobilitas tinggi dengan penduduk dari daerah endemis tinggi masih menjadi tantangan besar untuk daerah-daerah endemis rendah.

Pada daerah endemis, malaria masih menjadi masalah kesehatan terutama pada kelompok berisiko tinggi yaitu ibu hamil dan balita. Malaria dapat mengakibatkan anemia, keguguran, gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin (pada ibu mengandung) dan balita, serta gangguan fisik seperti kegagapan atau gangguan fungsi kognitif pada otak.

Dalam upaya mencapai eliminasi malaria tahun 2030, salah satu strategi yang dilakukan pemerintah pusat adalah mendorong komitmen pemerintah daerah, terutama pada daerah endemis tinggi, dalam hal pengendalian malaria dan juga dukungan aktif dari segenap pemangku kepentingan dan masyarakat lokal sendiri untuk turut berkontribusi secara signifikan dalam pencegahan malaria dan mempertahankan status bebas malaria bagi daerah-daerah yang sudah mencapai status eliminasi malaria.