Kematian pada pasien Covid-19 anak di rumah sakit rujukan tergolong tinggi. Hasil kajian ini seharusnya menjadi pertimbangan dalam memutuskan pembelajaran tatap muka.

JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 40 persen pasien anak yang terkonfirmasi Covid-19 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, meninggal. Selain karena adanya komorbid, tingginya tingkat kematian pada pasien anak ini juga disebabkan lonjakan kasus baru Covid-19 yang tiba-tiba, keterlambatan kedatangan pasien kronis ke rumah sakit, dan kurangnya sumber daya manusia untuk memerangi pandemi di awal.

 

Demikian hasil penelitian dari tim peneliti RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang dipublikasikan di International Journal of Infectious Diseases (IJID). Penulis utama kajian ini adalah Rismala Dewi dan Nastiti Kaswandani dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo.

 

Studi potong-lintang ini dilakukan berdasarkan data yang dikumpulkan dari rekam medis pasien suspect dan terkonfirmasi Covid-19 yang dirawat di RSCM, yang menjadi rujukan tersier di Indonesia, mulai Maret 2020 hingga Oktober 2020. Pada 2020, sebanyak 31.075 pasien dari segala usia mengunjungi unit gawat darurat di rumah sakit ini dengan 1.373 (4,41 persen) pasien dikonfirmasi positif Covid-19.

 

Secara total, 490 kasus anak (usia 0-18 tahun) dikategorikan sebagai suspect atau kemungkinan Covid-19. Dari jumlah tersebut, 50 anak atau 10,2 persen dikonfirmasi positif Covid-19 melalui analisis reaksi berantai polimerase (PCR). Di antara kasus anak yang dikonfirmasi ini, 20 pasien atau 40 persen di antaranya meninggal.

Kajian menunjukkan, tidak ada perbedaan tingkat kematian antara laki-laki dan perempuan pada pasien positif Covid-19 anak. Sedangkan tingkat kematian tertinggi terlihat pada pasien berusia lebih dari 10 tahun yang kondisinya dalam kategori parah saat masuk rumah sakit.

 

Sebagian besar pasien yang meninggal tersebut, yaitu 12 dari 20 pasien, datang dengan gejala umum atau sistemik seperti demam, tidak enak badan (malaise), nyeri otot (myalgia), dan kelelahan. Penyakit ginjal, seperti lupus nefritik dengan hipertensi sekunder, gagal ginjal akut dan penyakit ginjal kronis, menjadi penyakit penyerta yang paling umum, ditemukan pada delapan pasien.

 

Rata-rata, butuh tiga hari sejak masuk di rumah sakit atau sekitar 5,5 hari sejak timbulnya manifestasi klinis pertama Covid-19 hingga kondisi pasien memburuk. Dari 20 pasien yang meninggal ini, 16 anak dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dengan jumlah rata-rata hari dari masuk rumah sakit sampai masuk ICU adalah 2,5 hari.

Kajian dari Henry Surendar dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit dan tim di jurnal The Lancet pada Maret 2021 menemukan, kematian karena Covid-19 di antara anak-anak di bawah lima tahun di Jakarta mencapai 11 persen atau 7 dari 61 kasus positif yang diteliti.

Kajian dari Henry Surendar dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit dan tim di jurnal The Lancet pada Maret 2021 menemukan, kematian karena Covid-19 di antara anak-anak di bawah lima tahun di Jakarta mencapai 11 persen atau 7 dari 61 kasus positif yang diteliti.

Sekolah tatap muka

 

Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, riset ini seharusnya menjadi pertimbangan terkait rencana pemerintah untuk memulai sekolah tatap muka yang direncanakan pada Juli 2021. Sesuai studi ini, risiko kematian pada anak dengan Covid-19 membesar jika ada komorbid dan keterlambatan penanganan.

 

Kedua faktor ini, menurut Dicky, membutuhkan kecepatan dalam tes, pelacakan, dan pengobatan. Tanpa adanya penguatan tiga hal ini, pembukaan sekolah berisiko meningkatkan penularan dan kematian di kalangan anak-anak, selain guru dan orangtua murid.

Studi dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di jurnal Science, 29 April 2021, juga menemukan, orangtua yang anaknya masuk sekolah secara tatap muka sekitar 38 persen lebih mungkin melaporkan gejala Covid-19, seperti demam, batuk, atau kesulitan bernapas, dibandingkan dengan mereka yang tinggal dengan anak yang bersekolah secara daring.

 

Sementara itu, kajian di The Journal of School Health, 25 Maret 2021, menemukan, tes rutin dan pelacakan kasus secara cepat menjadi kunci untuk mencegah meluasnya penyebaran Covid-19 di sekolah. Dengan tes rutin dan langkah-langkah mitigasi, penularan di sekolah dapat tetap rendah meski tingkat penularan masyarakat sekitar meningkat.

 

”Karena rata-rata setiap infeksi di sekolah bisa dideteksi secara dini dan hanya menyebabkan kurang dari satu infeksi tambahan, infeksi tidak menyebar banyak di dalam sekolah,” tulis Michael Lachmann, profesor dari Santa Fe Institute, penulis kajian ini.

 

Menurut kajian tersebut, sekitar 72 persen penularan yang ditemukan di sekolah karena tidak memakai masker dengan baik.

”Studi ini menyimpulkan, jika Anda menerapkan semua tindakan mitigasi, termasuk tes rutin, tidak akan ada wabah besar di sekolah,” kata Lachmann.

 

Sumber: kompas.id